Hamzah bin Abdul Muthalib

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah sahabat sekaligus paman dan saudara sepersusuan Nabi Muhammad SAW. Ia memiliki julukan "Singa Allah" karena kepahlawanannya saat membela Islam.


Hamzah lahir diperkirakan hampir bersamaan dengan Muhammad. Ia merupakan anak dari Abdul Muthalib dan Haulah binti Wuhaib dari Bani Zuhrah. Menurut riwayat, pernikahan Abdul Muthalib dan Abdullah bin Abdul Muthalib terjadi bersamaan waktunya, dan ibu dari Nabi yakni Aminah binti Wahab adalah saudara sepupu dari Haulah binti Wuhaib.


Hamzah syahid pada Perang Uhud, dibunuh oleh Wahsyi bin Harb, seorang budak Ethiopia milik Hindun bin Utbah, istri dari Abu Sufyan bin Harb, yang ayahnya dibunuh oleh Hamzah pada Perang Badar. Hindun menjanjikan kebebasan untuk Wahsyi bila ia mampu membalaskan dendam Hindun dengan membunuh Hamzah.


------------------------------


Beliau bernama Hamzah bin Abdul Muttolib –semoga Allah meridhainya-, salah seorang paman Rasulullah saw dan saudara sesusuan, lahir dua tahun lebih dahulu dari Rasulullah saw, keduanya diasuh dan disusui oleh Tsuaibah, seorang budak Abu Lahab, beliau dijuluki dengan Abu ‘Amarah, sebagaimana beliau juga teman dekat anak saudaranya, Muhammad saw sebelum dibangkitkan menjadi Rasul, karena beliau tumbuh selalu berama-sama dan dididik berdua.

Hamzak masuk Islam pada tahun kedua setelah Muhammad diangkat menjadi nabi, -dan dalam riwayat yang lain pada tahun keenam setelah Rasulullah saw masuk ke Darul Arqom-; saat itu Hamzah sedang melakukan perburuan, dan ketika Abu Jahal melewati Rasulullah saw dibukit Shofa, Abu Jahal menghinanya, mancacinya dan mencelanya, sedang Rasulullah saw hanya diam, tidak berkomentar dan melawannya, adapun seorang pembantu milik Abdullah bin Jad’an mendengar perkataan Abu Jahal, maka diapun menunggu hingga Hamzah kembali dari bepergiannya, dan ketika Hamzah memegang panah pembantu itu berkata : Wahai Abu ‘Amarah, sekiranya saja engkau melihat perlakuan yang menimpa saudaramu Muhammad dari Abu Al-hakam bin Hisyan (Abu Jahal), dicaci dan dihina dan kemudian pergi meninggalkannya sedang Muhammad diam tidak melawan!? mendengar hal tersebut Hamzah marah lalu pergi menuju Abu Jahal dan mendapatkannya berada dikemurumunan Quraisy, lalu beliaupun memukul kepalanya dengan panahnya hingga terluka parah, kemudian dia berkata : Apakah engkau mencelanya sedangkan saya berada dalam agamanya (padahal saat itu beliau memeluk Islam), saya berkata kepada apa yang diucapkan, maka kembali kepada saya jika kamu mampu ? maka saat itu pula kelompok dari Bani Mahzum (Kabilah Abu Jahal) bangkit ingin menghajar Hamzah, namun Abu Jahal mencegahnya dan berkata kepada mereka : Biarkan Abu ‘Amarah pergi, karena demi Allah saya telah mencaci anak saudaranya dengan cacian yang lebih hina. (Ibnu Sa’ad).


Ketika hari beranjak pagi, Hamzah pergi menuju Ka’bah dan bermunajat kepada Allah agar dilapangkan dadanya pada kebenaran; maka Allahpun mengabulkannya dan mengisi hatinya dengan cahaya keyakinan dan iman, lalu beliau pergi menghadap Rasulullah saw dan menyampaikan perkara yang terjadi pada dirinya, hingga Rasulullah saw merasa gembira dengan Islamnya Hamzah dan mendoakan kapadanya kebaikan.


Demikianlah Allah SWT memuliakan Hamzah dengan Islam, dan Islam kokoh olehnya, karena masuknya beliau kepada Islam merupakan kemenangan yang baru dan dukungan terhadap agama Allah dan Rasulullah saw, namun orang-orang musyrik tidak mendengar dan mengatahui akan Islamnya Hamzah kecuali mereka berkeyakinan akan kuatnya Da’wah Rasulullah saw, hingga mereka menghentikan penghinaan terhadapnya dan memulai dengannya dengan siasat baru, yaitu melalui diplomasi, hingga datang Utbah bin Rabi’ah kepada Rasulullah saw dan memberikan memberikan hadiah seperti yang diinginkan dari harta, kedudukan atau kepemimpinan.


Dalam hidupnya Hamzah selalu menjadi pendamping sekaligus pendukung dan pelindung Rasulullah saw hingga Allah mengizinkan kepada kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah Al-Munawwarah, maka Hamzahpun ikut berhijrah, disana Rasulullah saw mempersaudarakan Hamzah dengan Zaid bin Haritsah, Hamzah ikut dalam perang Badar bersama Nabi saw, dan pada awal berkecamuknya perang beliau menyerang salah seorang dari pasukan musyrikin yang biasa dipanggil dengan Al-Aswad bin Al-Aswad di dekat sumur miliki kaum muslimin, dan dia berkata : saya bersumpah kepada Allah saya akan minum air dari sumur mereka atau saya akan hancurkan atau saya akan mati karenanya, maka Hamzahpun menghadangnya dan memukul kakinya, lalu Al-Aswad berjalan merangkak menuju sumur dan diikuti oleh Hamzah hingga akhirnya terbunuh.


Dan ketika tampak tiga orang bersaudara dari kaum musyrikin yaitu ; Utbah bin Rabi’ah dan saudaranya Syaibah dan anaknya Al-Walid bin Utbah, hingga keluar kepada mereka seorang pemuda dari Anshor dan berseru : Wahai Muhammad… keluarkan kepada kami dari kaum kami orang-orang yang gagah. Maka Rasulullah saw berkata : keluarlah kalian wahai Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah dan Ali! Maka Ubaidahpun berhadapan dengan Utbah, Ali dengan Al-Walid, dan Hamzah berhadapan dengan Syaibah, dan hal ini tidak disia-siakan oleh Hamzah kecuali dia berhasil membunuhnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ali dengan seterunya Al-Walid, adapun Ubaidah keduanya sama-sama terluka, hingga Hamzah dan Ali menghunuskan pedang keduanya dan membunuh Utbah.


Pada hari itu Hamzah meletakkan dikepalanya sebuah bulu, hingga dia tampak gagah dan berperang dengan berani dan berhasil membunuh beberapa orang terkemuka dari orang-orang musyrik, setelah perang usai dan Umayah bin Khalaf termasuk dalam tawanan, dia bertanya : siapa yang memakai dan mengajarkan menggunakan ikat kepala dengan bulu ? mereka menjawab : dialah Hamzah. Dia berkata : dialah yang telah berhasil melumpuhkan dan menangkap kami. Dalam perang ini Hamzah memiliki peran yang sangat besar, karena itu Rasulullah saw menjulukinya dengan : Asadullah wa Asadu Rasulihi (Singa Allah dan Singa Rasul-Nya).


Pada kesempatan lain seorang wanita musyrikin bernama Hindun binti Utbah bersumpah akan melakukan balas dendam terhadap Hamzah; karena dia telah membunuh ayahnya Utbah, pamannya dan saudaranya dalam perang Badar, sebagaimana Jubair bin Math’am ingin melakukan balas dendam kapada Hamzah karena telah membunuh pamannya Tu’aimah bin ‘Adiy, dan berkata kepada budaknya Wahsyi, yang mana dia mahir dalam melempar lembing : jika engkau berhasil membunuh Hamzah maka engkau merdeka.


Hingga saat perang Uhud datang dan Hamzah menunjukkan keberaniannya, membunuh para musuh di hadapan Rasulullah saw dengan dua pedang sambil berkata : Sayalah singa Allah. Dan setelah kaum muslimin mundur dari perang, Hamzah berusaha melindungi Rasulullah saw dari serangan orang-orang musyrikin, pada sisi lain Wahsyi bersembunyi dan mengintai Hamzah lalu membunuhnya dengan melemparkan tombaknya dengan keras hingga menimpa dadanya saat dimedan perang, hingga akhirnya beliau syahid sebagai pahlawan yang gagah berani.


Setelah usai perang Rasulullah saw menginsfeksi keadaan dan melihat Hamzah berada ditengah para syuhada sedangkan tubuhnya sudah tidak berbentuk lagi, hidung dan telingnya telah dipotong, perutnya terburai, hingga Rasulullah saw pun merasa sedih melihatnya, dan berkata : “Sekiranya Sofiyah tidak merasa sedih dengan kepergiannya tentu aku akan tinggalkan dirinya, demikian kondisi Hamzah yang mengenaskan hingga dimakan oleh ulat dan burung, dan hingga dia dibangkitkan dari perutnya sebagai kemuliaan dan pengagungan kepadanya”. (Abu Dawud). Dan beliau bersabda : “Penghulu para syuhada adalah Hamzah” (Al-Hakim). Nabi kemudian mensholatkan Hamzah dan para syuhada perang Uhud lainnya yang berjumkah 70 syahid.


Sumber :

Akulah Mush'ab...!!!

Mush’ab bin Umair adalah salah satu sahabat yang memeluk Islam pada masa awal keislaman. Ia lahir dan dibesarkan dalam kesenangan. Pada waktu remaja ia menjadi buah bibir gadis-gadis Mekah dikarenakan wajahnya yang rupawan, kekayaan, otak yang cerdas dan akhlaknya yang baik.

Suatu hari ia mendengar berita mengenai Muhammad SAW dan apa yang diajarkannya. Iapun tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Darul Arqom, suatu tempat dimana kaum Muslim berkumpul dan belajar. Disana ia mendengar ayat-ayat Al-Qur’an yang begitu mempesona. Hatinya menjadi tenang dan damai mendengar untaian ayat-ayat tersebut. Maka Mush’abpun memutuskan untuk memeluk ajaran baru ini. Namun ibunda Mush’ab adalah seorang yang berkepribadian kuat, pendiriannya tidak dapat ditawar-tawar. Oleh sebab itu Mush’ab memutuskan untuk sementara menyembunyikan keislamannya. Namun tak lama kemudian ibundanya mengetahui hal tersebut. Iapun berusaha membujuk agar Mush’ab mau kembali memeluk ajaran leluhurnya namun Mush’ab menolak sehingga akhirnya ia putus asa dan menghentikan pemberian keuangan serta mengurung Mush’ab di kamarnya dan melarangnya keluar rumah.

Beberapa waktu kemudian Mush’ab mendengar berita bahwa beberapa orang Muslim hijrah ke Habasyi (Ethiopia). Segera Mushabpun memutuskan untuk melarikan diri dan ikut bergabung bersama orang-orang Muslim untuk hijrah ke Habasyi. Beberapa waktu kemudian karena terdengar desas-desus bahwa pihak Quraisy telah mengurangi tekanan terhadap Muslim, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah, begitu pula Mush’ab. Mereka segera menemui Rasulullah dan para sahabat. Demi melihat Mush’ab, Rasulullah menitikkan airmata, penampilan Mush’ab sungguh berbeda, ia berpakaian usang dengan tambalan disana-sini. Rasulullah menatapnya dengan penuh kasih sayang dan bersabda: “ Dahulu aku lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam hal memperoleh kesenangan dari orang-tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan RasulNya”.


Setelah peristiwa baiat Aqabah ke 1 pada tahun ke 11 kenabian, Mush’ab ditugasi Rasulullah sebagai duta Muslim ke Madinah untuk mengajarkan Al-Quran dan berbagai pengetahuan lain mengenai Islam kepada penduduk disana. Berkat kecerdasan, kesabaran dan kebesaran jiwanya ia berhasil mengajak sebagian besar masyarakat kota itu untuk memeluk Islam. Itulah sebabnya ia dikenal dengan panggilan Muqri’ul Madinah ( Nara sumber Madinah). Dan sejak itu pula setiap orang yang mengajarkan Al-Qur’an disebut “Mush’ab”. Kemudian pada musim haji tahun berikutnya Mush’ab berhasil mengajak lebih dari 70 kaum Muslimin ke Mekkah dimana kemudian terjadi perjanjian Aqabah 2. Sejak saat itu Mush’ab tidak pernah absen menyertai Rasulullah berperang.


Dalam perang Uhud Mush’ab dipercaya Rasulullah sebagai pembawa bendera pasukan. Peperangan berlangsung sengit .Mulanya pasukan Muslim bisa menguasai keadaan namun ketika pasukan pemanah yang ditugasi untuk bertahan diatas bukit melanggar perintah dikarenakan tergiur oleh banyaknya ghonimah ( pampasan perang ) yang tertinggal di hadapan mereka, keadaan menjadi berubah terbalik. Tanpa diduga pasukan kafir yang dipimpin Khalid bin Walid yang waktu itu belum memeluk Islam menyerang-balik dari balik bukit sehingga pasukan Muslim kocar-kacir. Pada saat yang genting itulah beredar berita bahwa Rasulullah telah meninggal. Mush’ab sangat terkejut. Namun yang paling dikhawatirkannya adalah nasib kelanjutan ajaran Islam. Ia khawatir kenyataan tersebut akan segera menyurutkan dan memadamkan ajaran yang baru saja tumbuh itu.


Lalu iapun segera meneriakkan “ Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul ” sambil mengacungkan bendera tinggi-tinggi dan bertakbir sembari menyerang musuh dengan gagah berani. Namun kemudian pihak musuh berhasil menebas tangannya hingga putus. Mush’ab segera memindahkan bendera ke tangan kirinya namun kalipun ia tidak berhasil menghindar serangan lawan sehingga tangan kirinya juga ditebas pedang musuh. Mush’ab segera membungkuk kearah bendera lalu dengan kedua pangkal lengannya meraihnya ke dada sambil terus bertakbir. Namun kali ini lawan menyerangnya dengan menusukkan tombak ke dada Mush’ab. Mush’abpun gugur sebagai seorang syuhada yang gagah berani.


Diakhir perang, Rasulullah beserta para sahabat meninjau medan perang dan mendapati jasad Mush’ab.
Tak sehelaipun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah yang andai ditaruh di atas kepalanya terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya bila ditutup kakinya maka terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah bersabda : ” Tutupkanlah ke bagian kepalanya , kakinya tutuplah dengan rumput idzkir!”.

Betapa pun luka pedih dan duka yang dalam menimpa Rasulullah karena gugur pamanda Hamzah dan dirusak tubuhnya oleh orang-orang musyrik demikian rupa, hingga bercucurlah air mata Nabi.... Dan betapapun penuhnya medan laga dengan mayat para shahabat dan kawan-kawannya, yang masing-masing mereka baginya merupakan panji-panji ketulusan, kesucian dan cahaya.... Betapa juga semua itu, tapi Rasulullah tak melewatkan berhenti sejenak dekat jasad dutanya yang pertama, untuk melepas dan mengeluarkan isi hatinya.... Memang, Rasulullah berdiri di depan Mush'ab bin Umair dengan pandangan mata yang pendek bagai menyelubunginya dengan kesetiaan dan kasih sayang, dibacakannya ayat:
“Diantara orang-orang mukmin ada orang-orang yang percaya terhadap apa yang mereka janjikan kepada Allah”. (Q.S. 33 al-Ahzab : 23)

Kemudian dengan mengeluh memandangi burdah yang digunakan untuk kain tutupnya, seraya bersabda: "Ketika di Mekah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripadamu. Tetapi seharang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai burdah".


Setelah melayangkan pandangan sayu ke arah medan serta para syuhada kawan-kawan Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru: "Sungguh, Rasulullah akan menjadi saksi nanti di hari qiamat, bahwa tuan-tuan semua adalah syuhada di sisi Allah.


Kemudian sambil berpaling ke arah shahabat yang masih hidup, sabdanya: Hai manusia! Berziarahlah dan berltunjunglah kepada mereka, serta ucaphanlah salam Demi Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari qiamat yang memberi salam kepada mereka, pasti mereha akan mem balasnya.

Salam atasmu wahai Mush'ab...
Salam atasmu sekalian, wahai para syuhada...

Hudzaifah Ibnul Yaman

“Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan jika engkau ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai. “


Itulah kalimat yang diucapkan Rasulullah saw. kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, ketika bertemu pertama kali di Mekah. Mengenai pilihan itu, apakah beliau tergolong Muhajirin atau Anshar ada kisah tersendiri bagi Hudzaifah.


Al-Yaman, ayah Hudzaifah, adalah orang Mekah dari Bani Abbas. Karena sebuah utang darah dalam kaumnya, dia terpaksa menyingkir dari Mekah ke Yastrib (Madinah). Di sana dia meminta perlindungan kepada Bani Abd Asyhal dan bersumpah setia pada mereka untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani Abd Asyhal. Ia kemudian menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari perkawinannya itu, lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka, hilanglah halangan yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota Mekah. Sejak itu dia bebas pulang pergi antara Mekah dan Madinah. Meski demikian, dia lebih banyak tinggal dan menetap di Madinah.


Ketika Islam memancarkan cahanya ke seluruh Jazirah Arab, Al-Yaman termasuk salah seorang dari sepuluh orang Bani Abbas yang berkeinginan menemui Rasulullah saw. dan menyatakan keislamannya. Ini semua terjadi sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab, yaitu garis keturunan bapak (patriach), maka Hudzaifah adalah orang Mekah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.


Hudzaifah Ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Karena itu, Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah saw.


Kerinduan Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah saw. memenuhi setiap rongga hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa menunggu-nunggu berita, dan nyinyir bertanya tentang kepribadian dan ciri-ciri beliau. Bila hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin bertambah cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah.


Pada suatu hari dia berangkat ke Mekah sengaja hendak menemui Rasulullah. Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada beliau, “Apakah saya ini seorang Muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?”


Jawab Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut Muhajir engkau memang seorang muhajir dan jika engkau ingin disebut Anshar, engkau memang orang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”


Hudzaifah menjawab, “Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!”


Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar. Mengapa dia tidak ikut dalam Perang Badar? Soal ini pernah diceritakan oleh Hudzaifah. Ia berkata, “Yang menghalangiku untuk turut berperang dalam peperangan Badar karena saat itu aku dan bapakku sedang pergi keluar Madinah. Dalam perjalanan pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir Quraisy seraya bertanya, “Hendak ke mana kalian?”


Mereka menajawab, “Ke Madinah!”


Mereka bertanya, “Kalian hendak menemui Muhammad?”


“Kami hendak pulang ke rumah kami di Madinah,” jawab kami.


Mereka tidak bersedia membebaskan kami, kecuali dengan perjanjian bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya.


Setelah bertemu dengan Rasulullah saw., kami menceritakan kepada beliau peristiwa tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian dengan mereka. Lalu, kami bertanya kepada beliau tentang apa yang harus kami lakukan.


Rasulullah menjawab, “Batalkan perjanjian itu, dan marilah kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”


Dalam Perang Uhud, Hudzaifah ikut memerangi kaum kafir bersama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin.


Berikut kisahnya, pada hari terjadinya Perang Uhud, Rasulullah saw. menugaskan Al-Yaman (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat para wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada temannya, “Bagaimana pendapatmu, apalagi yang harus kita tunggu. Umur kita tinggal seperti lamanya kita menunggu keledai minum dengan puas. Kita mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik bila kita ambil pedang, lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu Rasulullah. Mudah-mudahan Allah memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama dengan nabi-Nya.” Keduanya lalu mengambil pedangnya dan terjun ke medan pertempuran.


Tsabit bin Waqsy memperoleh kemuliaan di sisi Allah. Dia syahid di tangan kaum musyrikin. Tetapi, Al-Yaman menjadi sasaran pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah berteriak, “Itu bapakku …! Itu bapakku …!”
Tetapi sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya, sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh pedang teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya berdoa kepada Allah, “Semoga Allah Taala mengampuni kalian, Dia Maha Pengasih dari yang paling pengasih.”


Rasulullah memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Hudzaifah berkata, “Bapakku menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”


Maka, dengan pernyataannya itu, penghargaan Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam.


Rasulullah saw. menilai dalam pribadi Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol. Pertama, cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat memegang rahasia, dan berdisplin tinggi, sehingga tidak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.


Sudah menjadi salah satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha menyingkap keistimewaan para sahabatnya dan menyalurkannya sesuai dengan bakat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yakni, menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.


Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat, yang selalu dilancarkan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah mempercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja. Dengan mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Karena inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan Shaahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).


Suatu ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah, beliau memilih orang yang cerdas, tanggap, dan berdisiplin tinggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh, sehingga mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tidak tertangguhkan, serta kesulitan-kesulitan yang tidak teratasi. Semakin hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah. Bahkan, menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah SWT.


Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menentukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik tidak lebih baik keadaannya daripada yang dialami kaum muslimin. Karena murka-Nya, Allah menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah meniupkan angin topan yang amat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kuali, dan belanga, memadamkan api, menyiramkan muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan tanah.


Pada situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil putusan melalui musyawarah.


Ketika itulah Rasulullah membutuhkan keterampilan Hudzaifah Ibnul Yaman untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka, beliau memutuskan untuk mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan dia bercerita, bagaimana dia melaksanakan tugas maut tersebut.


Hudzaifah berkata, “Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin Mekah mengepung kami sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah bawah. Yang kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita dan anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari sendiri. Angin bertiup sangat kencang, sehingga desirannya menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik minta izin pulang kepada Rasulullah, dengan alasan rumah mereka tidak terkunci. Padahal, sebenarnya rumah mereka terkunci.


Setiap orang yang minta izin pulang diberi izin oleh Rasulullah, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau. Semuanya keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan hanya tinggal 300 orang.


Rasulullah berdiri dan berjalan memeriksa kami satu per satu. Setelah beliau sampai di dekatku, aku sedang meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang menusuk-nusuk, selain sehelai sarung butut kepunyaan istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau mendekatiku yang sedang menggigil, seraya bertanya, “siapa ini!”


“Hudzaifah!” jawabku.


“Hudzaifah!” tanya Rasulullah minta kepastian. “Aku merapat ke tanah, sulit berdiri karena sangat lapar dan dingin.”


“Betul, ya Rasulullah!” jawabku.


“Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan laporkan kepadaku segera …!” kata beliau memerintah.


Aku bangun dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah berdoa, “Wahai Allah! lindungilah dia, dari hadapan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.”


Demi Allah! sesudah Rasulullah saw. selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa. Tatkala aku memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau memanggilku dan berkata, “Hai, Hudzaifah! sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!”


Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!”


Lalu, aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Aku berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka. Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando.


Ia berkata, “Hai, pasukan Quraisy! dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!”


Mendengar ucapan Abu Sufyan, aku segera memegang tangan orang yang di sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?”
Jawabnya, “Aku si Anu, anak si Anu!”


Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai, pasukan Quraisy! demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.”


Selesai berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.


Aku kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang salat di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu, kulaporkan kepada beliau segala kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.


Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekalipun yang mencoba mengorek rahasia tetap ia tidak mau membocorkannya. Sampai-sampai khalifah Umar bin Khathtab r.a. ada orang muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu ?” Jika mereka menjawab, “Ada,” beliau turut menyalatkannya.


Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik,”Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?”


Jawab Hudzaifah,”Ada seorang!”


“Tolong tunjukkan kepadaku siapa?” kata Umar.


Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”


“Seandainya kautunjukkan, tentu Khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.


Namun begitu, amat sedikit orang yang mengetahui bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dainawar, Hamadzan, dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum muslimin dari genggaman kekuasaan Persia yang menuhankan berhala. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushhaf Alquran, sesudah kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat takut kepada Allah, dan sangat takut akan siksanya.


Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam. Hudzaifah bertanya kepada mereka,”Pukul berapa sekarang?”


Mereka menjawab, “Sudah dekat Subuh.”


Hudzaifah berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.”


Ia bertanya kembali, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?”


Mereka menjawab, “Ada.”


Hudzaifah berkata, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan, jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku.”
Sesudah itu dia berdoa kepada Allah, “Wahai Allah! sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka mati daripada hidup.”


Sesudah berdoa rohnya berangkat. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.

Abdullah Ibnu Ummi Maktum

Abdullah bin Umar bin Syuraikh, seorang sahabat asal Quraisy ini termasuk peserta hijrah ke Madinah rombongan pertama. Beliau sampai di Madinah sebelum kedatangan Rasulullah Shalalahu ‘alaihi Wassalam. Beliau meninggal dalamperang Qadisiah membawahi sebuah brigade.


‘Abdullah bin Ummi Maktum, orang mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasululah Shalalahu ‘alaihi Wassalam. Yaitu anak paman Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid Ridhwanullah ‘Alaiha. Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya ‘Atikah binti ‘Abdullah. Ibunya bergelar “Umi Maktum” karena anaknya ‘Abdullah lahir dalam keadaan buta total.


‘Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam mulai memancar di Makkah. Allah melapangkan dadanya menerima agama baru itu. Karena itu tidak diragukan lagi dia tidak termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai muslim kelompok pertama, ‘Abdullah turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di Makkah ketika itu. Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindakan kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu ummi Maktum menyerah? Tidak……! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan Kitabullah. Dia semakin rajin memepelajari syariat Islam dan seringh mendatangi majelis Rasulullah.


Begitu rajin dia mendatangi majelis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al-Qur’an, sehingga setiap waktu senggang selalu disinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu disebutnya. Bahkan dia sangat rewel. Karena rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari Rasulullah, di samping keuntungan bagi yang lain lain juga.


Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, mengharapkan semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, ‘Amr bin Hisyam alias Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf dan walid bin Mughirah, ayah saifullah Khalid bin walid.


Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.

Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba ‘Abdullah bin Ummi maktum datang mengganggu minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur’an.


Kata ‘Abdullah, “Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda!”


Rasul yang mulia terlengah memperdulikan permintaan ‘Abdullah. Bahkan beliau agak acuh kepada interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi ‘Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.


Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau: “Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta dating kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang dating kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti.” (QS. 80 : 1 – 16).


Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa ‘Abdullah bin Ummi maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.


Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi ‘Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkan duduk ditempat duduk beliau. Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan ‘Abdullah demikian rupa; bukankah tegoran dari langit itu sangat keras!


Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi jadi, Allah Ta’ala mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah. ‘Abdullah bin Ummi maktum bergegas meninggalkan tumpah darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama sama Mus’ab bin Umar sahabat-sahabat Rasul yang pertama tama tiba di Madinah, setibanya di Yatsrib (Madinah), ‘Abdullah dan Mush’ab segera berdakwah, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan mengajarkan pengajaran Isalam.


Setelah Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengangkat ‘Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin rabah menjadi Muadzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid lima kali sehari semalam, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal adzan, maka ‘Abdullah qamat. Dan bila ‘Abdullah adzan, maka Bilal qamat.


Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah. Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan ‘Abdullah adzan ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makam minum dan segala yang membatalkan puasa.


Untuk memuliakan ‘Abdullah bin Ummi maktum, beberapa kali Rasulullah mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan beliau, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada ‘Abdullah. Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.


Setelah perang Badr, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an, mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati ‘Abdullah bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta. Lalu dia berkata kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang.”


Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat (udzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia senantiasa berdoa dengan segala kerendehan hati. Katanya, “Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang udzur sepertiku!” Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya.


Zaid bin Tsabit, sekertaris Rasulullah yang bertugasmenuliskan wahyu menceritakan, “ku duduk di samping Rasulullah. Tiba tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, “Tulislah, hai Zaid!”


Lalu aku menuliskan, “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah…..” (QS. 4 : 95).


Ibnu Ummi berdiri seraya berkata, “Ya Rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat)?”


Selesai pertanyaan ‘Abdullah, Rasulullah berdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, “Coba baca kembali yang telah engkau tulis!”


Aku membaca , “Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang).” lalu kata beliau. Tulis! “Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu.” Maka turunlah pengecualian yang diharap harapkan Ibnu Ummi Maktum.


Meskipun Allah telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang udzur seperti dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Maka karena itu dia sangat gandrung untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.


Katanya, “Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Saya akan memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari.” Tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah ‘Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. ‘Umar memerintahkan kepada segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, ‘Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!”


Maka berkumpulah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah ‘Umar. Di antara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, ‘Abdullah bin Ummi maktum. Khalifah ‘Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa’ad.


Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. ‘Abdullah bin Ummi maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu.


Pada hari ke tiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka pndahlah kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.


Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid itu terdapat ‘ Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin.


Sumber : http://alqiyamah.net/2008/04/01/abdullah-ibnu-ummi-maktum-radhiyallahu-anha/

Mujahidah sejati

Mujahidah sejati

Ialah intan permata dan mutiara

Yang indah seindah pelangi di cakrawala

Yang menghiasi taman yang indah


Mujahidah sejati

Ialah srikandi pembela agama

Pribadi sholihah

Yang berhiaskan iman dan ketaqwaan


Mujahidah sejati

Akhiratlah yang ia utamakan

Karena dunia bukanlah pilihannya

Melainkan syurga yang abadi


Mujahidah sejati

Hatinya berbeda dengan yang lainnya

Karena hatinya di asuh iman dan taqwa


Mujahidah sejati

Berbekal Al-Quran dan As-Sunnah

Pengorbanannya bisa merubah dunia

Karna dialah yang melahirkan mujahid mujahid sejati


Mujahidah sejati

Dirimu akan terus subur mekar mewangi

Seindah surya yang menerangi bumi

Harapan ummah yang sejati


Mujahidah sejati

Menyoroti langkah khodijah, aisyah, fatimah

Yang menjadi muqorrobin bermujahadah

Merebut cinta dan kasih Allah


Mujahidah sejati

Paras rupa bukanlah ukuran

Karena nilainya sama di sisi Allah

Hanya iman dan taqwa

yang membedakan wanita sholihah di sisi Allah




Ukhti, Malu Dong...

Oh ukhti,

Jilbab lebar besar

Otak pun pintar

Tapi masih saja tertawa lebar



Hai ukhti,

Wajah cute dengan senyum imut

Tapi mata sinisnya bikin orang lain takut



Oh ukhti,

Wajah manis nan memikat

Dengan jilbab warna coklat

Kok ga bertingkah laku layaknya akhwat




Hai ukhti wanita mulia,

Malulah kita

Mari sama-sama menjaga

Agar kita jadi makhluk mulia

Membuat cemburu para bidadari di surga

sana ^^

Untukmu Akhi

Kau bilang “ana akan ta’aruf dengan ukhti beberapa tahun lagi ketika ukhti sudah lulus”

Buat apa kau katakan itu skrg akhi...

Jika belum siap adalah jawabannya,, lalu kenapa harus kau katakan rencanamu itu padaku..



Tidak taukah engkau,, kata2mu itu bisa menggoyahkan kekokohan iman yang sedang susah payah ku bangun..



Lalu ketika kau bilang “ana ingin jaga hati ana untuk ta’aruf dengan ukhti nanti”

Lantas, apakah dgn kau bilang begitu dan sering menelfonku itu artinya tidak mengotori hatimu?

Kau memang sudah seharusnya menjaga hatimu sampai tiba waktunya nanti untuk kau berikan seutuhnya kepada wanita yang berhak.. tapi kan belum tentu wanita itu aku...



Ketika kau bilang.. “ati2 ya di sana.. jaga diri baik2..”

Bukannya aku ga suka diperhatiin dan dijagain..

Tp cukuplah Allah yg menjagaku..

Dan tanpa kau bilang begitu pun aku akan berhati2 di sini dan menjaga diriku dengan baik untuk suamiku nanti.. dan itu belum tentu kau..



Ketika kau bilang “ana harap ukhti tidak ta’aruf dengan org lain sebelum ana”

Kurang jelaskah jawabanku,, aku tidak bisa menjanjikan apa pun.. karena aku tak tau apa yang akan terjadi padaku nanti...



Sebuah kutipan yang perlu kau ketahui:

Wahai akhwat, jika datang kepadamu laki-laki baik-baik yang melamarmu, maka bisa jadi dialah pangeranmu.

Wahai ikhwan, jika gadis pujaanmu telah dilamar orang, maka lupakanlah. Karena bisa jadi dia bukan permaisurimu.



Aku yakin kau tau janji Allah.. laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik..

Maka kalau memang nantinya kita tak berjodoh,, ya itu artinya barangkali aku tak cukup baik untukmu.. pastinya ada wanita lain yang baik untukmu..

Dan yakinlah... kalau memang aku bukan tulang rusukmu,, maka apa yang kau rencanakan itu tak akan pernah terjadi...

Dan jika aku ini tulang rusukmu, maka tanpa kau minta aku untuk tidak ta’aruf dengan orang lain pun, aku akan tetap jadi pendampingmu..

Karena ku yakin,, tulang rusuk tidak akan tertukar..